Raja Gendeng

Cerpen Raja Gendeng
https://pixabay.com/Couleur
(https://pixabay.com/id/katak-pangeran-katak-pangeran-angka-2240764/)


Di sebuah kampung, tepatnya di warung kopi, Jono dan Slamet tampak asyik menikmati kopi dan gorengan buatan Tursinah, sang pemilik warung. Mereka sesekali terlibat perdebatan soal Gendeng yang baru saja terpilih menjadi raja di kampung mereka. Gendeng sangat berbeda dengan raja-raja lain yang pernah menjabat di Kampung Sedulur. Jika pemimpin dahulu menawarkan hidup kesederhanaan dan kesahajaan, ia justru mengiming-imingi warga dengan hidup mewah dan hedonis. Hal itulah yang membuat warga kepincut, lalu pada akhirnya berbondong-bondong memilih dan mendapuk Gendeng menjadi raja. 

Sudah enam bulan Gendeng menjabat menjadi raja di Kampung Sedulur, janji kampanye yang dahulu dia gemborkan mulai direalisasikan. Sekarang warga kampung tak perlu lagi berjalan kaki atau mengonthel sepeda ke sawah, sang raja telah membuat progam baru bernama ‘Kredit Motor Gampang dan Cepat. Menurut Gendeng, warga kampung sudah bukan zamannya lagi berjalan kaki atau mengonthel sepeda ke sawah. Semua itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. Menurutnya sekarang zamannya naik motor kalau mau ke ladang. 

Progam baru ini digadang-gadang sang raja bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik. Syarat untuk bisa kredit motor pun cukup simple, cukup dengan membayar menggunakan hasil panen yang dimiliki. Banyak warga akhirnya ikut kredit motor. Hampir semua warga Sedulur saat ini sudah punya motor. Dan kalau ke sawah selalu menggunakan kendaraan roda dua itu, tidak lagi berjalan kaki atau mengonthel sepeda seperti dulu. Bayar cicilannya pun cukup mudah, hanya menyerahkan seluruh hasil panen untuk istana dalam kurun waktu 10 tahun. Semua setuju. Tidak ada yang protes. 

Cuma tinggal Slamet, yang belum punya motor. Bukan dia tidak sanggup bayar uang muka dan cicilannya, melainkan ia masih nyaman berjalan kaki saat hendak ke ladang. Sudah puluhan kali utusan istana datang ke rumahnya untuk menawarkan kredit motor. Namun, selalu ia tolak secara halus dengan alasan masih nyaman jalan kaki dan bikin badan sehat. Utusan istana itu harus pulang dengan kepala tertunduk lesu. Usahanya ‘merayu’ Slamet, gagal total. 

“Met, si Gendeng itu hebat ya?” tanya Jono di sela-sela menyeruput kopi. 

“Hebat apanya?” Slamet balik bertanya, penasaran. 

“Iya Raja Gendeng itu hebat, bisa buat progam Kredit Motor yang gampang dan cepat lagi. Jadi kita nggak usah capek-capek lagi jalan kaki atau ngonthel sepeda ketika ke ladang.” 

“Halah! Baru begitu saja sudah Kamu bangga-banggakan Dia. Nanti bisa-bisa raja baru itu besar kepala,” sahut Slamet sedikit geram, sambil menenggak kopinya yang tinggal setengah. 

“Kamu ini gimana sih Met, malah bersikap begitu pada raja baru kita. Coba lihat raja-raja yang dulu tak pernah sehebat Gendeng, mereka hanya mengajarkan hidup sederhana dan bersahaja. Itu sama saja mengajari kita hidup miskin terus!” 

Slamet ogah menanggapi ocehan kawannya yang emosinya mulai naik. Bisa-bisa mereka ribut di warung kopi Tursinah hanya karena hal sepele. 

Apa yang dikatakan oleh Jono, sedikit ada benarnya. Tetapi, bagi Slamet yang cukup paham tentang agama, merasa tidak nyaman dengan hidup mewah juga hedonis yang ditawarkan oleh Gendeng, si raja baru. Menurut dia, hidup bermewah-mewahan dan hedonis seperti itu jauh dari Tuhan dan ajaran agama. 

*** 

Masa jabatan Gendeng menjadi raja sudah hampir satu tahun. Kini, dia tidak lagi bersikap pura-pura manis kepada warga Kampung Sedulur. Watak aslinya mulai terihat. Sejak cicilan pembayaran motor memasuki bulan ke empat, dia mengubah semua aturan yang ada. Menaikkan angsuran plus bunganya, mengambil hasil panen warga, sampai menyita semua sertifikat rumah. Jika ada yang mencoba-coba melawan keputusannya, maka akan langsung dibunuh. Mayatnya dipotong-potong dihadapan warga setempat. Membuat banyak orang berpikir dua kali untuk melakukan perlawanan. 

Sejak awal, Gendeng memang sudah mengincar semua ini. Menguasai Kampung Sedulur. Memeras warganya dengan mengeruk hasil panen, menyita sertifikat rumah, hingga tak membayar upah kepada warga yang menggarap ladangnya. Semua dimakannya sendiri. 

Setiap warga hanya bisa pasrah tanpa mampu berbuat apa-apa. Sawah-sawah mereka yang menjadi tumpuan untuk menyambung hidup, kini tak lagi berguna. Semua hasil panen sudah dirampas oleh raja yang tak punya hati nurani. 

Banyak warga yang ingin melakukan pemberontakan. Namun mereka semua takut dibunuh dan mayatnya dipotong-potong. Belum lagi Raja Gendeng telah membuat aturan baru, siapa saja yang mengumpat dirinya, maka kepalanya akan dipenggal dan di gantung di atas pohon. Ngeri. Membuat nyali para Kepala Rumah Tangga ciut. 

Slamet yang geram terhadap kesewang-wenangan Gendeng sekaligus tak tega melihat penindasan di mana-mana, memukul-mukul meja warung kopi milik Tursina dengan keras. Hatinya sakit, pedih, juga teiris-iris, melihat banyak warga yang kelaparan dan menderita. Kerja di ladang sendiri tanpa upah. Sebagian warga jatuh sakit. Beberapa di antaranya meninggal karena tak kunjung di bawah ke rumah sakit. 

*** 

Malam itu Slamet mengendap-endap memasuki istana. Kali ini dia berniat menghabisi nyawa Gendeng, sang raja yang benar-benar ‘gendeng’. Laki-laki itu tahu risikonya, ia akan mati. Jauh lebih baik mati melawan pemimpin zhalim daripada harus melihat saudaranya menderita. Bagi Slamet, mati melawan raja yang zhalim adalah syahid. 

Dia berjalan pelan sambil sesekali menunduk. Lalu melemparkan tali berkait ke atas gerbang istana. Tak lama kemudian, dia berhasil masuk ke lingkungan istana. Slamet bersembunyi di balik pohon besar, saat pengawal istana wara-wiri mengontrol keadaan. Sejurus kemudian ia berhasil melumpuhkan dua pengawal itu. 

Kini, istana tanpa pengawalan ketat, Slamet bisa melenggang dengan aman. Laki-laki berambut setengah gondrong itu, sibuk mencari-cari di mana kamar sang raja. Saat sedang mencari, tanpa sengaja tubuhnya menyenggol sebuah guci dan membuatnya jatuh berhamburan di lantai. Sontak, kejadian itu membangunkan seluruh penghuni istana, termasuk Gendeng. Merasa nyawanya terancam, Gendeng berteriak-teriak memanggil pengawal yang ada di belakang istana lalu memerintahkan untuk menangkap dan membunuh Slamet. 

Slamet yang terkepung, mencoba melawan dengan pisau yang berada di balik bajunya. Belum sempat ia melakukan perlawanan, bunyi tembakan terdengar dari belakang. Sebuah peluru menembus tepat dada laki-laki setengah gondrong itu. Dia tersungkur dan tewas di tempat. Mayatnya kemudian dipotong-potong dihadapan para warga yang heboh mendengar keributan.
Toni Al-Munawwar
Toni Al-Munawwar Toni Al-Munawwar adalah seorang blogger dan penulis buku. Ia mulai menekuni dunia menulis dari blog pribadinya. Beberapa tulisannya pernah dimuat media cetak dan elektronik.

Posting Komentar untuk "Raja Gendeng"